
Apa hubungan antara santri dan Facebook? Bertanyalah pada para peserta forum Bahtsul Masail di Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri, Jawa Timur. Dalam acara yang membahas tema-tema sosial itu, para santri membicarakan media sosial daring yang sedang naik daun itu.
Saya membaca berita perihal itu di sini. Menurut berita tersebut, peserta juga membahas soal pencalonan perempuan menjadi caleg, hukum mempercayai khasiat batu dukun cilik Ponari.
Mengapa Facebook ikut dibicarakan?
Kepada wartawan Tempo, Juru bicara Pondok Pesantren Lirboyo Nabil Haroen mengatakan interaksi di dunia maya dinilai merupakan salah satu pemicu hubungan negatif dengan lawan jenis. Sebab semua materi percakapan tersebut nyaris tak terkontrol dan berlangsung bebas.
“Beberapa anak muda menggunakannya untuk mojok dan berbicara maksiat.” — Nabil kepada Tempo.
Karena itulah, forum Bahtsul Masail menganggap hukum penggunaan jejaring sosial tersebut, seperti halnya handphone dan Friendster, perlu ditetapkan.
Yang menarik, Wakil Gubernur Jawa Timur Syaifullah Yusuf ikut memberi komentar terhadap rencana pembuatan hukum pemakaian Facebook di kalangan para santri.
Ia meminta para peserta forum Bahtsul Masail berhati-hati sebelum memutuskan hukum soal teknologi jejaring sosial Facebook.
Gus Ipul — nama panggilan untuk Syaifullah Yusuf — mengatakan diperlukan pemahaman yang mendalam tentang Facebook sebelum memutuskan halal atau haramnya. Kecanggihan teknologi selalu membawa dampak manfaat dan mudharat sekaligus.
“Jangan sampai yang memutuskan itu tidak pernah membuka facebook.” — Gus Ipul.
Gus Ipul juga berharap apa pun keputusan yang akan diambil forum tersebut bukan sesuatu bersifat instan dan populis semata, seperti halnya keputusan para ulama saat mengeluarkan fatwa haram rokok.
Hmmm … menarik. Popularitas Facebook ternyata menembus dinding-dinding pesantren. Para santri tak hanya membuka lembaran-lembaran kitab suci Alquran, tapi juga mengklik halaman-halaman digital Facebook.
Jamaah tarekat Al Fesbukiyah telah bertambah begitu rupa. Saya ndak tahu apakah fenomena ini layak disyukuri atau justru dikeluhkan.
Bagaimanapun, tak semua orang siap menghadapi gelombang teknologi yang menghumbalang seluruh dunia ini. Sebagian merasa asyik-asyik saja, tapi ada pula yang kagok. Pengasuh pondok, misalnya, menganggap Facebook hanyalah tempat untuk mojok dan berbuat maksiat. Lalu yang kikuk merasa harus merumuskan sesuatu.
Ah, hidup begitu berwarna di Indonesia. Begitu pula segala isinya. Satu notkah di langit bisa dikira potongan meteor yang jatuh. Padahal mungkin hanya selembar daun yang luruh…
>> Selama hari Kamis, Ki Sanak. Apakah sampean pernah mojok dan berbuat maksiat di Facebook?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar